Senin, 04 April 2011

RPP Aswaja


RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP )


Satuan Pendidikan      : MTs Ma’arif I Malangbong
Mata Pelajaran            : ASWAJA / Ke-NU-an
Kelas / Semester          : VIII / Ganjil
Alokasi Waktu            : 3X40 menit ( 3xpertemuan )

Standar Kompetensi   : 1. Memahami hubungan antara NU dengan Ahlussunnah wal Jamaah.

Kompetensi Dasar       : 1.1. Mengidentifikasi Aswaja menurut rumusan NU
                                      1.2. Mendiskripsikan usaha NU dalam mempertahankan Aswaja
                                      1.3. Mendiskripsikan usaha NU dalam mengembangkan Aswaja.

Indikator                     : ~ Mendefinisikan arti Aswaja
                                      ~ Mendefinisikan Aswaja menurut rumusan NU
                                      ~ Mengidentifikasi usaha-usahan NU dalam mempertahankan Aswaja
                                      ~ Mengidentifikasi usaha-usaha NU dalam mengembangkan Aswaja.

A.    Tujuan Pembelajaran
Diakhir pembelajaran siswa mampu untuk :
~ Mendefinisikan arti Aswaja
      ~ Mendefinisikan Aswaja menurut rumusan NU
      ~ Mengidentifikasi usaha-usahan NU dalam mempertahankan Aswaja
      ~ Mengidentifikasi usaha-usaha NU dalam mengembangkan Aswaja.

B.     Materi Pembelajaran
Nahdlatul Ulama dan Ahlussunnah Wal Jamaah

C.    Metode Pembelajaran
Ceramah
Tanya jawab
Eksploratif

D.    Strategi Pembelajaran
Pertemuan 1
  1. Pendahuluan
~ Mengawali pembelajaran dengan do’a bersama
~ Mengabsen kehadiran siswa
~ Memberi motivasi
~ Menyampaikan SK dan KD yang akan dibahas
~ Apersepsi materi, dengan melakukan pretest untuk mengingat kembali pelajaran kelas    tujuh yang terkait dengan kelahiran NU.

  1. Kegiatan inti
a.       EKSPLORASI
-                                        Guru menjelaskan akar kata Ahlussunnah Wal Jamaah
-                                        Siswa mencari makna Ahlun, Assunnal dan al Jamaah.
-                                        Guru mengadakan tanya jawab tentang arti Ahlun, Assunah dan al Jamaah

b.      ELABORASI
-                                        Siswa mengidentifikasi pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah
-                                        Siswa mengidentifikasi makna Assalafus Shalih
-          Siswa membedakan antara makna Assunnah Al Jamaah dengan Ahlussunah Wal Jamaah
c.       KONFIRMASI
-          Guru dengan siswa bersama-sama merumuskan pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah yang sebenarnya.
-          Guru menulis hadits Nabi tentang perpecahan umat Islam diakhir zaman.
-          Guru mengkaitkan hadis Nabi tersebut dengan Ahlussunnah Wal Jamaah.

  1. Penutup
-          Melakukan refleksi materi yang dibahas.
-          Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

Pertemuan 2
  1. Pendahuluan
~ Mengawali pembelajaran dengan do’a bersama
~ Mengabsen kehadiran siswa
~ Memberi motivasi
~ Menyampaikan SK dan KD yang akan dibahas
~ Apersepsi materi, dengan melakukan pretest.

  1. Kegiatan Inti
a. EKSPLORASI
~ Siswa menggali informasi dari sumber belajar tentang makna Ahlussunnah Wal Jamaah menurut rumusan jamiyah Nahdlatul Ulama.
~ Guru bertanya pada siswa tentang nama-nama madzhab empat, makna aqidah, fiqih dan tasawuf.

b.      ELABORASI
~ Guru bercerita pada siswa tentang peristiwa Imam Al Asy’ari keluar dari paham Mu’tazilah  dan kemudian merumuskan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah.
~ Guru menunjuk beberapa siswa untuk mengomentari cerita tersebut, misalnya siswa diminta untuk berpendapat alasan Imam Al Asy’ari keluar dari Mu’tazilah.
~ Guru bercerita tentang peristiwa bagaimana proses Imam Al Ghozali mengambil jalan sufistik.

c.       KONFIRMASI
~ Siswa dibantu guru merumuskan tentang makna Ahlussunnah Wal Jamaah versi NU.
~ Guru menunjukkan pada siswa  ibrah dari cerita tentang Imam Al Asy’ari dan Imam Al Ghozali.

  1. Penutup
~ Melakukan refleksi materi yang dibahas.
~ Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

Pertemuan 3
  1. Pendahuluan
~ Mengawali pembelajaran dengan do’a bersama
~ Mengabsen kehadiran siswa
~ Menyampaikan SK dan KD yang akan dibahas
~ Guru menyuruh siswa untuk berdiri semua, guru menyanyi mars Ma’arif sambil diiringi tepuk tangan siswa.

  1. Kegiatan Inti
a.       EKSPLORASI
~ Guru menyuruh siswa untuk menyebutkan atau mengidentifikasi kegiatan keagamaan yang rutin diadakan ditempat tinggalnya masing-masing.
~ Jawaban siswa ditulis dipapan tulis dan menujuk salah seorang untuk membacanya dengan keras.
b.      ELABORASI
~ Siswa dengan dibantu guru menjelaskan satu persatu tentang kegiatan atau amaliyah keagamaan tersebut.
~ Guru menjelaskan reaksi ulama Pondok Pesantren terhadap upaya kelompok Pembaru untuk menghapus amaliyah keagamaan tersebut.
~ Siswa mengidentifikasi usaha-usaha yang dilakukan oleh NU dalam mengembangkan ajaran Aswaja di Indonesia, hasil identifikasi ditulis dibuku catatan
~ Menunjuk beberapa siswa untuk membaca hasil identifikasinya.

c.       KONFIRMASI
~ Guru menanggapi hasil identifikasi siswa tentang usaha NU dalam mengembangkan Aswaja.
~ Guru menunjukkan landasan hukum (dalil) amaliyah-amaliyah keagamaan tersebut.
~ Guru menanamkan doktrin pada siswa tentang manfaat-manfaat dari amaliyah-amaliyah tersebut.

  1. Penutup.
~ Melakukan refleksi materi yang dibahas.
~ Guru menyampaikan rencana ulangan harian pada pertemuan berikutnya.

E.     Sumber dan Alat Pembelajaran
~ Buku paket Aswaja
~ Buku Khithah Nahdhiyah
~ Buku Khujjah NU, aqidah amaliyah dan tradisi.
~ Buku Tahlil dalam prespektif Al Qur’an dan As Sunnah
~ Buku NU dan Islam di Indonesia, tinjauan fiqih dalam politik.


F.     Penilaian
~ Ulangan Harian
~ Pengamatan







Mengetahui,
Kepala MTs Ma’arif I Malangbong




Atep Arasid, S. Pd
Malangbong, ………………………
Guru Mata Pelajaran




Dian Tubagusudin, S. PdI

Aswaja Kelas 8 Semester Genap


SIKAP KEMASYARAKATAN NAHDLOTUL ULAMA

Karena as-Sunnah wal Jamaah itu tidak lain adalah ajaran agama Islam yang murni sebagaimana dianjurkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw bersama para sahabatnya, maka perwatakan (karakteristik) nya adalah juga karakteristik agama itu sendiri.
Karakteristik agama Islam yang paling esensial adalah:
  • Prinsip at-Tawassuth, jalan pertengahan, tidak tathorruf (ekstrem = تطرف ) kekanan-kananan atau kekiri-kirian.
  • Sasaran Rahmatan lil ‘alamin, menyebar rahmat kepada seluruh alam. 
Ada tiga kata istilah yang diambil dari al-Qur'an dalam menggambarkan karakteristik agama Islam, yaitu:
  1. at-Tawassuth   = التوسط
  2. al-I'tidal           الاعتدال
  3. at-Tawazun     التوازن.
A.    Tawasuth dan I`tidal
Tawasuth (توسط ) artinya tengah-tengah maksudnya menempatkan diri di tengah-tengah antara dua ujung tatharruf (ekstrim) dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran,serta menghindari keterlanjuran ke kiri dan ke kanan secara berlebihan.sikap tawassud ini harus dibarengi dengan sikap i`tidal (اعتدال) artinya tegak terus, maksudnya berlaku adil, tidak berfihak kecuali pada yang benar dan harus dibela.
As-Sunnah wal Jamaah adalah ajaran islam yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. dan diamalkan oleh beliau bersama para sahabatnya. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa karakter as-Sunnah wal Jamaah serambutpun tidak bergeser dari karakter agama Islam sendiri. Karakteristik as-Sunnah wal Jamaah adalah karakteristik agama Islam.
Warga Nahdlatul Ulama baik secara pribadi maupun secara berkelompok atas nama organisasi, harus berpegang teguh pada sikap tawassuth dan i`tidal. sikap ini harus menyertai sikap langkahnya,dalam menghadapi segala masalah dan keadaan.Nahdlotul Ulama` dan warganya dalam menghadapi suatu masalah ia harus netral, tidak berfihak pada salah satunya, tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain, tidak membela yang satu dan mengalahkan yang lain,tidak condong yang satu dan meninggalkan yang lain.
Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 8
يايهاالذين امنوا كونواقوامين لله شهداء بالقصط ولايجرمنكم شنئان قوم علي الاتعدلوااعدلوا هواقرب للتقوئ واتقواالله ان الله خبيربماتعملون(المائدة :8
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan( kebenaran ) karena Alloh,menjadi saksi yang adil dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum,mendorong kamu berlaku tidak adil .berlaku adillah, karena adil itu dekat dengan taqwa.dan bertaqwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Allah SWT dalam ayat ini memerintahkan orang-orang mukmin untuk selalu menegakkan kebenaran dengan seadil-adilnya, tidak boleh condong kepada seseorang atau suatu masalah,meskipun dilatar belakangi oleh kebencian atau kecintaan.berlaku adil baik dalam urusan agama maupun hubungan antar manusia,adalah merupakan suatubentuk ketaqwaan kepada Alloh.Di ahir ayat Allah menegaskan bahwa Ia adalah maha waspada,artinya apakah sesorang bersikap adil atau tidak, Allah pasti mengetahui. Oleh sebab itu tidak bisa seseorang hanya berpura-pura adil.
Selanjutnya dalam sebuah hadits disebutkan;
عن عبدالله ابن عمروابن العاص رضي الله عنه قال قال رسول الله صلئ الله عليه وسلم ان المقسطين عندالله علئ منابرمن نوريمين الرحمن,الذين يعدلون في حكمهم وماولوا – (رواه مسلم ونساء)
Artinya:
Dari Abdulloh bin Umar r.a. ia berkata.Rosululloh SAW. Bersabda, Sesungguhnya orang-orang yang tegak disisi Alloh, akan di tempatkan diatas tempat tinggi dari cahaya Tuhan yang Maha pengasih.Mereka itulah orang-orang yang berlakun adil dalam keputusanya dan tergeser dari keadilanya. (Hadits Riwayat Muslim dan An Nasa`I )
Hadits ini menjelaskan, bahwa orang-orang yang berlaku adil, yang gigih dalam memegang keputusanya yang telah di dasarkan pada hukum-hukum Allah.mereka tidak bergeser sedikitpun dalam keputusanya, karena bujukan rayuan, atau sogokan.mereka itu akan mendapatkan derajad yang tinggi disisi Alloh.mereka akan dimuliakan oleh Alloh dan dihormati oleh manusia.
Nahdlotul Ulama` dalam leputusanya Organisasi harus benar-benar bersikap tawassuth I`tidal, Umpamanya kita salah satu pemimpin Nahdlotul Ulama mencalonkan diri sebagai kepala daerah, maka nahdlotul harus bersikap netral. Sebagai organisasi, maka nahdlotul ulama harus mendukung warganya untuk menjadi pemimpin masyarakat, tetapi Nahdlotul Ulama` tetap tidak terlibat dalam masalah politik praktis. Oleh sebab itu, warga Nahdlotul Ulama` yang maju dalam pencalonan jabatan publik harus lepas dari kepengurusan Organisasi, dan tetap diberlakukan sebagai warga Nahdlotul Ulama`. Nahdlotul juga tidak mengarahkan warganya untuk mendukung salah sau calon, tetapi harus bisa menjelaskan manfaat-manfaat kepada warga dengan tetap memberi kebebasan warga untuk memilih.
Dalam hubunganya sebagai pribadi-pribadi, warga Nahdlotul Ulama juga harus menjunjung tinggi sikap tawassuth dan I`tidal. Umpamanya seorang siswa yang berteman dengan beberapa temannya, ketika terjadi permasalahan antar teman itu, maka seorang siswa harus adil dan menegakkan kebenaran . tidak  boleh langsung membela salah seorang teman dengan menjatuhkan yang lain,karena akan menguntungkan dirinya.Tetapi harus benar-benar tidak memihak, bahkan berusaha menjembatani masalah yang terjadi diantara temannya itu.
Sikap dan perilaku seperti contoh itu harus benar-benar dapat di biasakan, utamanya ketika masih anak-anak.seorang harus berlatih dan membiasakan diri bersikap netral dalam segala hal, dan adil dalam menghadapi masalah.Dengan demikian kelak kita dewasa akan menjadi manusia yang benar – benar mempunyai sikap-sikap yang luhur dan dapat di contoh oleh sitiap orang.dan tentunya akan menempatkan dirinya pada posisi yang terhormat dan dimuliakan orang lain.
B.     TASAMUH
Tasamuh (تسامح ) artinya saling memaafkan.sikap tasamuh disebut juga sikap toleransi, maksudnya adalah sikap lapang dada, mengerti dan menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain,tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri.seseorang yang bersikap tasamuh harus mempunyai keyakinan bahwa dirinya, apa yang menjadi pendapatnya dan apa yang dilaksanakanya adalah benar, akan tetapi harus mempunyai kesadaran bahwa orang lain yang tidak sama pendirianyan dengan dirinya adalah tidak salah.yang benar adalah tidak hanya dirinya sendiri.
Warga Nahdlotul Ulama` baik secara pribadi maupun secara bersama-sama harus memiliki sikap tasamuh. Mereka bersedia untuk berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun kemasyarakatan dan kebudayaan.mereka tidak boleh memajsakan kehendak pada orang lain. Mereka harus siap pendapatnya tidak di ikuti orang lain.tetapi mereka tidak harus mengikuti pendapat orang lain.. kecuali jika pendapat orang lain iotu lebih naik dan lebih benar dari pada pendapat mereka sendiri.
Allah berfirman dalam surat Al-Hujurot ayat 11:
يايهاالذين امنوالايسخر قوم من قوم عسي ان يكونوا خيرا منهم ولانساءعسي ان يكون خيرامنهن ولاتلمزواانفسكم ولاتنابزوابالالقاب بئس الاسم الفسوق بعدالايمان ومن لم يتب فاوءلئك هم الظالمون(الحجرات 11)
Artinya :
Hai oranga –orang yang beriman janganlah kamu mengolok-olok kaum yang lain (karena)boleh jadi mereka(yang di olok-olokan) lebih baiok dari mereka(yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita(mongolok-olokan)wanita-wanita yanhg lain(karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita-wanita (yang mengolok-olokan) dna janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan jangnalah kamu panggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan adalah kefasikan (panggilan yang buruk) sesudah iman, dan barang siapa tidak ber taubah, maka mereka adalah orang-orang yang dzalimhai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Alloh maha penerima taubat lagi maha penyayang.
Ayat ini menjelaskan tentang larangan-larangan Allah berkaitan dengan hubungan sesama manusia dalam kehidupan sehari hari.larangan tersebut antara lain adalah mengolok-olok, mencela, memanggil dengan sebutan yang buruk, berprasangka jelek, mencari kesalahan orang lain dan menggunjing.larangan-larangan tersebut menandakan, bahwa seseorang hendaknya lapang dada dalam menghadapi orang lain, tidak menganggap orang lain lebih rendah, dan mudah memberikan maaf pada orang lain.
Begitu juga dalam sebuah hadits:
عن جابرابن عبدالله رضي الله عنهما ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال رحم الله رجلا سمحا اذاباع واذااشتمرئ واذااقتضي _رواه البخاري والترمذي وابن ماجه.
Artinya:
Dari jabir bin Abdulloh r.a. bahwa Rosululloh SAW. bersabda “mudah-mudahan Allah Merahmati hamba Nya yang berlaku mudah(lapang dada) apabila menjual,membeli, atau menagih. (Hadits Riwayat Bukhori, tirmidzi, dan ibnu majah)
Dalam keyakinan beragama, atau dalam menghadapi agama orang lain Alloh berfirman dalam surat al-kafirun ayat 1-6:
قل يايهاالكافرون .لااعبدماتعبدون .ولاانتم عبدون مااعبد .ولااناعابدماعبدتم  ولاانتم عبدون ماعبد .لكم دينكم وليدين .
Artinya:
Katakanlah “Hai Orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang akamu sembah dan kamu bukanlah penyembah apa yang aku sembah dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak pernah menjadi penyembah apa yang aku sembah untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.
Keputusan dan aktivitas Organisasi Nahdlotul Ulama` selalu dilandasi dengan sikap tasamuh Artinya Nahdlotul Ulama` selalu memahami perbedaan.
C.    At-Tawazun = تشرالتوازن
Berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan suatu unsur atau kekurangan unsur yang lain. Diambil dari kata al-waznu atau al-mizan alat penimbang dari ayat:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِٱلْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ ٱلْكِتَابَ وَٱلْمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلْقِسْطِ ۖ
"Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Mizan (penimbangan keadilan)supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (al-qisth) … (QS. Al-Hadid: 25)
At-Tawassuth (termasuk al-I'tidal dan at-Tawazun), bukanlah serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan mengucilkan diri dari menolak pertemuan dengan unsur apa-apa. Karakter at-Tawassuth bagi Islam adalah memang sejak semula Allah swt sudah meletakkan di dalam Islam segala kebaikan, dan segala kebaikan itu pasti terdapat di antara ujung tatharruf, sifat mengujung, ekstrimisme. Prinsip dan karakter at-Tawassuth yang sudah menjadi karakter Islam ini harus diterapkan didalam segala bidang, supaya agama islam dan sikap serta tingkah laku umat Islam selalu menjadi saksi dan pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku manusia umumnya.

Amar ma'ruf nahi munkar

Amar ma'ruf nahi munkar, (al`amru bil-ma'ruf wannahyu'anil-mun'kar) adalah sebuah frase dalam bahasa Arab yang maksudnya sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat.
Dalil Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah:
Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” [Luqman 17]
Jika kita tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, maka Allah akan menyiksa kita dengan pemimpin yang zhalim dan menindas kita dan tidak mengabulkan segala doa kita:
Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka). (HR. Abu Zar)
Amar Ma'ruf Nahi Munkar dilakukan sesuai kemampuan. Yaitu dengan tangan/kekuasaan jika dia adalah penguasa/punya jabatan. Dengan lisan/tulisan jika dia adalah jurnalis atau intelektual. Atau minimal membencinya dalam hati atas kemungkaran yang ada. Ini adalah selemah-lemah iman (Hadits).
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
وفي رواية : ليس وراء ذلك من الإيمان حبة خردل
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
  1. Mengingkari dengan tangan.
  2. Mengingkari dengan lisan.
  3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
قال رجل لعبد الله بن مسعود -رضي الله عنه- : هلك من لم يأمر بالمعروف ولم ينه عن المنكر. فقال عبد الله: بل هلك من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Kemudian dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, jika tidak diindahkan niscaya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak:
Pertama: Mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadah
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan yang haram.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban dan amalan sunah yang sangat agung (mulia) maka sesuatu yang wajib dan sunah hendaklah maslahat di dalamnya lebih kuat/besar dari mafsadatnya, karena para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan dengan membawa hal ini, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap apa yang diperintahkan Allah adalah kebaikan, dan Dia telah memuji kebaikan dan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, serta mencela orang-orang yang berbuat kerusakan dalam beberapa tempat, apabila mafsadat amar ma’ruf dan nahi mungkar lebih besar dari maslahatnya maka ia bukanlah sesuatu yang diperintahkan Allah, sekalipun telah ditinggalkan kewajiban dan dilakukan yang haram, sebab seorang mukmin hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menghadapi hamba-Nya, karena ia tidak memiliki petunjuk untuk mereka, dan inilah makna firman Allah:
يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم
“Wahai orang-orang yang beriman perhatikanlah dirimu, orang yang sesat tidak akan membahayakanmu jika kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-Maa’idah: 105)
Dan mendapat petunjuk hanya dengan melakukan kewajiban.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 10. cet. Wizarah Syuun al Islamiyah)
Dan beliau juga menambahkan, “Sesungguhnya perintah dan larangan jika menimbulkan maslahat dan menghilangkan mafsadat maka harus dilihat sesuatu yang berlawanan dengannya, jika maslahat yang hilang atau kerusakan yang muncul lebih besar maka bukanlah sesuatu yang diperintahkan, bahkan sesuatu yang diharamkan apabila kerusakannya lebih banyak dari maslahatnya, akan tetapi ukuran dari maslahat dan mafsadat adalah kacamata syari’at.”
Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar dan di benci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan, sekalipun Allah membenci pelaku kemungkaran dan mengutuknya.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4)
Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
  1. Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
  2. Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
  3. Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
  4. Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.